Museum di Sumenep dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertamanya adalah Museum I yang disebut Museum Kencana Kraton. Museum ini menyimpan dua buah kereta kencana raja dan barang antik koleksi kerajaan berupa kursi pertemuan dan tempat tidur raja. Dulunya bangunan ini digunakan sebagai garasi kereta Sultan Abdurrahman yang berkuasa pada tahun 1811-1854. Hebatnya salah satu kereta kencana merupakan hadiah dari Ratu Kerajaan Inggris sementara yang lain merupakan buatan lokal. Selain itu di dalam museum kencana ini disimpan juga ukiran yang melambangkan perdamaian dan kerjasama yang seimbang antara masyarakat Madura di Kraton Sumenep dengan pihak Eropa, Cina dan Arab.
Sedang bangunan Museum II dahulu merupakan kantor raja yang biasa disebut kantor 'Koneng'. Istilah nama 'Koneng' ini menurut cerita awalnya berasal dari kata 'koning' yang berarti raja, namun bergeser pengucapannya menjadi 'koneng' karena logat rakyat yang kental dengan logat Madura. Selain itu, kata 'koneng' ini juga ditujukan untuk menggambarkan dua hal, yang pertama adalah karena warna dinding kantor yang banyak menggunakan warna kuning, serta yang kedua kata 'koneng' untuk menggambarkan warna kulit keluarga kraton terutama putri-putri raja yang berwarna kuning langsat. Para putri raja ini oleh rakyat disebut dengan 'putri koneng', yang artinya 'putri raja' sekaligus juga berarti 'putri berwarna kulit kuning'. Bangunan yang didesain oleh arsitek dari Cina ini dibangun pada masa ketika Bindara Saod memerintah sebagai raja, tepatnya tahun 1762.
Di dalam Museum II tersimpan berbagai macam koleksi berupa barang pribadi dan per lengkapan sehari-hari keluarga kerajaan. Pakaian kebesaran raja, senjata-senjata baik tradisional maupun pemberian dari para tamu asing. Di dalam museum II terpajang beberapa foto-foto lama yang menggambarkan adat tradisi lama, seperti pernikahan dan syukuran. Dan diantara koleksi foto ini tampak masa-masa masuknya budaya dari Solo yaitu ketika salah satu putri Sultan Abdurrahman, salah satu raja Sumenep, menikah dengan mengenakan pakaian khas Kraton Surakarta. Hal ini dikarenakan salah satu istri Sultan Abdurrahman sendiri merupakan putri dari Kraton Surakarta. Beberapa arca juga tersimpan di museum ini, menandakan adanya pengaruh budaya Hindu di budaya rakyat Sumenep.
Adapun Museum III dahulunya merupakan gedung tempat meditasi raja. Di dalam museum ini tersimpan Al Quran hasil tulisan tangan dari Sultan Abdurrahman yang menurut sejarah diselesaikan hanya dalam satu hari. Tersimpan juga beberapa ikat daun lontar kering yang di dalamnya terdapat tulisan tangan oleh Sultan Abdurrahman. Isinya berupa ajaran-ajaran Islam dan tradisional rakyat Sumenep dalam huruf-huruf Jawa.
Kesan sakral akan terasa ketika berada di dalam bangunan utama Kraton Sumenep. Bangunan ini tersambung dengan Pendapa Agung yang dulunya merupakan pusat kegiatan raja. Pada saat ini Pendapa Agung sering digunakan sebagai tempat diselenggarakannya acara kedinasan kabupaten seperti menyambut tamu penting dan serah terima jabatan pemerintahan. Kraton Sumenep yang dahulunya merupakan tempat tinggal raja tidak dibuka untuk umum. Di dalamnya terdapat kamar tidur raja, kamar tidur permaisuri, juga kamar tidur mertua raja. Sekarang ruang-ruang tersebut masih terawat dengan baik dan bahkan sengaja ditata seolah masih dipergunakan oleh keluarga kerajaan.
Bangunan lain yang juga termasuk bagian dari kawasan Kraton Sumenep adalah Taman Sare dan Labang Mesem. Taman Sare merupakan tempat pemandian putri raja, sedang Labang Mesem merupakan pintu gerbang utama untuk memasuki kawasan kraton. Kata "Labang" berarti "lawang" atau pintu, sementara "mesem" berarti senyum. Pintu gerbang ini dinamakan sedemikian rupa karena dahulu di kedua sisi pintu dijaga oleh orang-orang kerdil yang menyambut pada pendatang dengan ramah dan penuh senyum hingga pendatang-pendatang ini akan memasuki kawasan kraton dengan hati yang terhibur dan wajah yang penuh senyum.
Situs budaya merupakan tempat yang sebisa mungkin dijaga kelestariannya agar dapat dinikmati pula oleh anak cucu kita. Keberadaannya turut menjaga benang merah budaya lokal meski perkembangan jaman akan selalu membawa wajah situs itu berganti mengikuti perubahan. Begitu pula kompleks Kraton Sumenep yang dulunya merupakan kawasan tertutup bagi umum sekarang telah beralih fungsi menjadi kawasan yang terbuka sekaligus pusat pelestari budaya.